Refleksi Satu Abad Ponpes Al Falah Ploso, Warisan Khidmah Untuk Bangsa
KEDIRI – POROSNEWS.CO
Pondok Pesantren Al Falah Ploso, salah satu pesantren besar di Indonesia telah genap berusia satu abad. Berdiri sejak 1 Januari 1925, pesantren ini merupakan buah perjuangan luar biasa dari pasangan suami istri KH Djazuli Utsman dan Nyai Hj Rodliyah.
Keduanya dikenal sebagai sosok visioner yang mendedikasikan hidup untuk pendidikan Islam dan pengembangan pesantren.
Pendiri pesantren KH Djazuli Utsman lahir 16 Mei 1900 di Kediri. Ia berasal dari keluarga religius, putra Raden Mas Muhammad Utsman, seorang penghulu di Ploso dan Mas Ajeng Muntaqinah, keturunan mubaligh.
Sejak kecil, Djazuli dikenal cerdas dan disiplin, terbukti dari pendidikannya yang meliputi Sekolah Rakjat, MULO, HIS, hingga Sekolah Kedokteran Pribumi (STOVIA) di Batavia.
Namun, nasihat dari KH Muhammad Ma’ruf, seorang ulama dari Ponpes Kedunglo, Kota Kediri, mengubah arah hidupnya. Ia disarankan untuk meninggalkan pendidikan formal dan mendalami ilmu agama di pesantren.
Sebagai anak yang berbakti, Djazuli mengikuti saran tersebut dan memulai perjalanan panjang menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
Di antaranya di Ponpes Gondanglegi (Nganjuk), Pesantren Sono (Sidoarjo), Sekarputih (Nganjuk), hingga Ponpes Tebuireng (Jombang) di bawah asuhan Hadratus Syekh KH Hasyim Asya’ri.
Perjalanan intelektual Djazuli tidak hanya di tanah air. Pada 1922, menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama di Masjidil Haram, Makkah.
Namun situasi politik yang memanas akibat kudeta Wahabi memaksanya kembali ke Indonesia. Sepulangnya, Djazuli melanjutkan pengabdian dengan mendirikan Pondok Pesantren Al Falah di Ploso pada 1 Januari 1925.
Dengan tekad yang kuat, sebelumnya pada pertengahan 1924, Kiai Djazuli mengajukan surat permohonan pemantauan kepada pemerintah Kolonial Belanda dan pada 1 Januari 1925 surat tersebut turun.
Proses itu sebagai cara formal untuk mendirikan bangunan madrasah baru demi memperluas kapasitas pesantren.
Pesantren ini dimulai dengan hanya 12 orang santri. Dengan tekad yang kuat, Djazuli mengembangkan pesantren ini meskipun awalnya masih menggunakan serambi masjid sebagai tempat belajar.
Berkat kegigihannya, pesantren berkembang pesat, baik dari segi jumlah santri maupun fasilitas. Ia bahkan berkeliling ke berbagai daerah seperti Kediri, Tulungagung, dan Blitar untuk menggalang dana guna membangun asrama dan madrasah.
Pendirian Ponpes Al Falah tidak lepas dari peran Nyai Hj Rodliyah, istri KH Djazuli Utsman, lahir di Durenan, Kabupaten Trenggalek, pada 1912.
Terlahir dalam lingkungan pesantren, Nyai Rodliyah mendapatkan pendidikan agama langsung dari ayahnya KH Mahyin.
Setelah menikah dengan KH Djazuli pada 15 Agustus 1930, Nyai Rodliyah menjadi pendamping setia yang tidak hanya mendukung, tetapi juga memimpin roda ekonomi pesantren.
Salah satu ungkapannya yang terkenal adalah, “Pun, sampean ngaji mawon, kulo sing ngurusi sangu,” (Sudah sampean fokus mengaji, saya yang mengurus kebutuhan keluarga). Dengan berdagang kain keliling dan berjualan sayur untuk mencukupi kebutuhan pesantren, sementara KH Djazuli fokus pada pendidikan santri.
Nyai Rodliyah juga dikenal sebagai sosok yang sangat disiplin dalam ibadah. Ia rutin menjalankan shalat tahajud, puasa sunnah dan membaca Al-Quran hingga khatam setiap tiga hingga lima hari sekali. Keteguhan hati dan dedikasinya menjadikan sebagai teladan ummul ma’had, ibunda pesantren.
Pesantren Al Falah tumbuh menjadi lembaga pendidikan Islam yang besar. Pada 1928, dibangun asrama pertama bernama Pondok Darussalam, disusul Pondok Cahaya sebagai tempat mujahadah.
Pada 1939, dibangun Kompleks Andayani yang dilengkapi dengan mushola dan gedung asrama dua lantai.
Hingga kini, pesantren ini terus berkembang dan menjadi pusat pendidikan berbasis salaf yang tidak hanya mendidik ribuan santri, tetapi juga melahirkan banyak ulama dan tokoh masyarakat.
Di bawah kepemimpinan putra-putri mereka, seperti KH Ahmad Zainuddin Djazuli (wafat 2021), KH Nurul Huda Djazuli, KH Chamim Tohari Djazuli (Gus Miek) wafat 1993, KH Fuad Mun’im Djazuli (wafat 2020), KH Munif Djazuli (wafat 2012) dan Nyai Hj Lailatul Badriyah Djazuli, Ponpes Al Falah terus melestarikan tradisi keilmuan Islam.
Betapa luar biasanya KH Ahmad Djazuli Utsman memiliki kedekatan dengan Allah SWT mengambil tarekat yang paling berat, yang paling tidak menjanjikan yaitu, Tarekat Ta’lim wa ta’allum (belajar dan mengajar).
Selain itu Kiai Djazuli juga memiliki semboyan ‘Afdlolutthuruqi ilallah thoriqotutta’lim watta’allum.
Kiai Djazuli juga Istiqamah fi ibadah wa ubudiyah, istiqamah fi ta’lim wa ta’allum. Seperti yang disampaikan KH Nurul Huda Djazuli, Kiai Djazuli sehari ngaji tidak kurang dari 15 bahkan sampai 18 kitab setiap hari.
Yang tidak kalah ekstrem, Kiai Djazuli setiap hari selalu mengingatkan putra putrinya dengan kata-kata, addunya jifah wathullabuha kilab. (dunia itu bangkai dan siapa yang mencarinya adalah anjing).
KH Djazuli wafat pada 22 Oktober 1967, meninggalkan warisan berupa pesantren yang menjadi cahaya ilmu bagi umat Islam.
Sementara Nyai Hj Rodliyah wafat pada 11 September 1996, di usia 84 tahun. Keduanya telah memberikan teladan tentang keikhlasan, perjuangan dan pengabdian yang tiada henti untuk pendidikan Islam.
Pesantren Al Falah Ploso, yang telah berusia satu abad, adalah bukti nyata dari perjuangan pasangan ini. Dengan tema peringatan “Melestarikan Ngaji, Meneguhkan Khidmah Al Falah untuk Bangsa,” generasi penerus diharapkan dapat terus menjaga dan mengembangkan warisan keilmuan ini untuk umat dan bangsa.
“Saya mohon doa kepada semua agar Pondok Pesantren Al-Falah yang usianya sudah satu abad bisa lestari dan istiqamah hingga Yaumil Qiyamah. Serta anak, dan cucu KH Ahmad Djazuli Utsman diberikan himmah aliyah (semangat tinggi),” ungkap KH Abdurrahman Al Kautsar, salah satu pengasuh Ponpes Al Falah Ploso.(dim)