SALAHKAH POLITIK DINASTI?
Oleh : Drs. Muji Harjita.
Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) di sejumlah daerah di Indonesia, tidak terelakkan seorang tokoh yang maju menjadi salah satu calon, menjadi bagian tokoh yang lain dalam satu keluarga. Tak terkecuali di Kediri.
Beberapa kalangan menyoroti masalah politik dinasti ini, yang katanya bisa menciderai demokrasi. Yang menjadi pertanyaan adalah salahkah politik dinasti itu ?
Mari kita kupas perjalanan politik dinasti di Indonesia setelah Indonesia Merdeka tahun 1945. Kita mulai dari Bapak Proklamator yang sekaligus Presiden RI ke 1, Ir. Soekarno.
Mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa kultur Indonesia (kekeluargaan, kekerabatan) telah menjadi tradisi hingga sekarang. Contohnya, karisma dan talenta Bung Karno diturunkan kepada Megawati Soekarnoputri, dilanjutkan ke Puan Maharani.
Tak terkecuali dengan mantan Presiden ke 5 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mewariskan kharismanya kepada sang anak Agus Harimurti Yudhoyono AHY dan Ibas.
Mantan Wakil Presiden RI pertamapun Mohammad Hatta juga mewariskan talentanya kepada Meutia Hatta. Dan yang terkini adalah Presiden Jokowi dengan sang anak dan menantunya.
Hal serupa juga sering terjadi di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Thailand dan Singapura, di mana pihak-pihak yang memiliki hubungan kekerabatan sama-sama terjun langsung ke ranah politik.
Harus diakui Politik dinasti memang masih sangat kental keberadaannya di Indonesia. Secara hukum dan konstitusi, politik dinasti merupakan fenomena yang legal dan tidak dilarang oleh UU. Akan tetapi selayaknya politisi harus menggunakan kesempatan tersebut dengan bijak, yaitu mengutamakan kompetensi untuk menduduki suatu jabatan.
Untuk itu, politisi maupun pemerintah yang hendak melakukan praktek politik dinasti perlu melakukan evaluasi ulang agar dapat mencetak pemimpin-pemimpin terbaik di negeri ini. Evaluasi tersebut perlu diimplementasikan dalam bentuk kaderisasi yang selektif dan kompeten meskipun berasal dari keluarga sendiri. Sehingga masyarakat menganggap politik dinasti sebagai bagian dari keberagaman politik di Indonesia.
Tokoh-tokoh politik lain yang mewariskan kharismanya kepada anak dan kerabatnya antara lain politisi partai Demokrat Amir Syamsuddin dengan sang anak Didi Irawadi.
Kemudian Zira Anjani yang merupakan anak dari politisi PAN Zulkifli Hasan yang baru saja dilantik sebagai anggota DPRD DKI dan yang lain.
Apakah di Kediri ada yang seperti itu ? Tentunya ada, semisal Ferry Silviana Abu Bakar, bakal calon Wali Kota Kediri yang nota bene adalah istri mantan Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar.
Kemudian ada Hanindhito Himawan Pramana, Bupati Kediri yang juga calon Bupati Kediri pada Pilkada 2024 ini, yang tak lain adalah putra Mensekkab Pramono Anung yang saat ini juga maju sebagai calon Gubernur Jakarta.
Tulisan ini bukan untuk mengulas bagaimana sengitnya kritikan para pengamat dan aktivis terhadap fenomena ini. Tapi kenyataannya politik dinasti ini sudah ada secara turun-temurun di Indonesia bahkan di skala lebih kecil yaitu Desa. Contohnya, Kepala Desa yang mewariskan kursi Kepala Desa kepada istri atau anaknya, meski tetap melalui proses Pemilihan. Atau seorang anak atau cucu sang Kepala Desa dijadikan perangkat Desa. Itu bukan rahasia lagi.
Pada 8 Juli 2015 lalu, sebenarnya Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal yang oleh sebagian pihak dianggap memiliki semangat untuk memotong rantai dinasti politik di daerah itu kemudian dihilangkan. Pasal tersebut berbunyi: warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Dalam bagian penjelasan Pasal 7 huruf r, dijelaskan bahwa: yang dimaksud dengan ‘tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. Oleh MK, pasal ‘dinasti politik’ itu dihapuskan karena bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945.
Sebenarnya ada sisi positif politik dinasti pada pemilihan kepala daerah serta kiprah kepala daerah. Misalkan, figur yang tampil sebagai calon kepala Daerah pasti sudah lebih dikenal masyarakat dan mereka biasanya sudah menjalani pendidikan politik di dalam keluarganya. Dengan demikian mereka sudah memiliki modal politik. Biasanya figur dari politik dinasti, sudah memiliki rekam jejak politik yang panjang sesuai dengan perjalanan keluarganya, seperti yang selama ini muncul.
Jadi yang namanya politik dinasti itu sebenarnya tidak dilarang di Indonesia. Soal dipilih atau tidak, diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat yang punya hak pilihnya. Makanya kita harus bijak menyikapi masalah politik dinasti ini. (Penulis adalah mantan Ketua Panwaslu Kabupaten Kediri tahun 2012-2016).